Senin, 17 Juni 2013

Pengalaman Pertama Bikin SIM

Bertahun-tahun pakai motor, saya tidak menggunakan SIM, karena memang hanya digunakan di daerah, yang penting bisa, ya dipakailah motor, apalagi jalanannya yang sunyi hingga tidak takut bertabrakan dengan motor lainnya. Tapi ketika pindah ke Bandung, lain lagi masalahnya, jalanan yang rame dan polisi yang bertebaran di mana-mana membuat saya ciut. Ketika dapat hadiah ultah motor baru dari suami tercinta, saya memaksakan diri membuat SIM.

Pagi itu hari Senin, saya berangkat bareng suami ke Polres, dan wawww ternyata yang antri sudah banyak sekali. Karena tempat parkir di dalam sudah penuh, kami terpaksa parkir di luar. Dan ketika sedang parkir itulah, ada bapak-bapak yang datang menghampiri kami.

“Nenk, mau bikin SIM C ya?
Kalo mau cepet, bapak bisa bantu.
Ga mahal ko, Cuma se******* saja".

Suami yang memang punya acara lagi langsung saja menjawab,

“Kurangi dikit lah, itu terlalu mahal”.

Jawab si Bapa,” Kalo sekalian dengan SIM A nya bolehlah dikurangi. Ini sudah harga termurah lho, yang lain mana dapet segitu.”

Dan setelah adu tawar dengan si Bapa itu akhirnya terjadilah transaksi deal. Suami akhirnya juga membuat SIM A yang dari rumah sebelumnya tidak terpikirkan.

Saya merasa keberatan dengan keputusan suami,

“ Yah ko langsung oke aja, padahal Ibu pengen asli di test”.

Dia hanya jawab, “Kita liat aja nanti.” 

Setelah lama ngantri, kami dipanggil berbarengan. Kami hanya disuruh mengisi biodata. Setelah itu kami ngantri lagi untuk difoto. Nah saat mengantri itulah saya mengobrol dengan orang yang duduk di sebelah saya. 
   
 “Mas bikin SIM apa?”.

“SIM C Mba, oya tadi mba pake jalan yang Bapak tua di tempat parkiran ya?”
   
“Ko tau?”
    
“Iya saya juga lewat dia”

“Oh”

“Saya terpaksa Mba ambil jalan ini”

“Ko?”
 
“Iya saya sudah cape bolak balik, saya sudah 3 kali ikut test, tapi tidak pernah lulus. Kemudian ada desas desus, kalo lewat test asli sampe berapa kali pun tak akan dilulusin. Saya aja udah abis uang berapa 3 kali ikut test. Makanya sekarang ambil jalan nembak ini.”

Saya hanya tersenyum simpul mendengarnya, dan ketika melirik ke arah suami, ia hanya mengangguk, karena ternyata dia juga dulu 2 kali gagal ikut test.

“Ayah cuma tidak ingin lama kita mengurus ini”, katanya dengan raut muka yang menyakinkan.

Saya pun hanya bisa menghela nafas.

(Meski tidak puas, tapi kini SIM sudah di tangan)

Ketika saya ajak ngobrol orang lagi di ruang tunggu itu, ternyata kebanyakan memang pake jalan ‘nembak’ itu. Saya jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati, ko bisa seperti ini ya, padahal di luar banyak spanduk-spanduk yang melarang perbuatan itu. Memang sudah jadi rahasia umum, tapi sampai kapan akan dibiarkan seperti ini. Kalo begini caranya, siapa pun dapat dengan mudah mendapatkan SIM, asal ada uang.

Dan yang lebih mengejutkan lagi ketika saya mengantar Adik membuat SIM di lain kota dengan saya. ketika masuk ke Polres, kami langsung didekati dengan Pak Polisi.

“Ada yang bisa Bapa Bantu?”

Adik saya menjawab, “mau bikin SIM C pa.”

“Oh, sini Bapa yang urusin, kamu tunggu saja di sini. Sini bayar se*****.”

Begitulah, oknum Polisi nya aja ga malu untuk terang-terangan melakukan ini. Kita sebagai masyarakat, tentu saja dalam selintas, pasti menginginkan hal yang cepat beres.

Doa saya, Mudah-mudahan untuk ke depannya saya dan para pembaca tetap patuh pada aturan meskipun ada jalan yang lebih cepat. Semoga saja.

Salam,


Tulisan ini diikutsertakan dalam Kinzihana's GA

2 komentar:

  1. Memang kalau gagal terus ya begitu itu biasanya nembak, tapi kalau ditempat saya asli gak bisa nembak harus lulus road test dulu . sampai beberapa tahun

    makasih ya sudah tercatat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mba, di sini kebanyakan pada gagal terus, jadi ambil jln cepat :)
      Sama2 mba:)

      Hapus